Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan
kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan
pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair
tiba di Madinah. Ia berkata,
Read more http://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html
Read more http://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan
kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan
pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair
tiba di Madinah. Ia berkata,
“Seorang
laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya.
Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”
Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan
dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya
dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.
Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.
Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy;
Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin
Kilab al-Abdari al-Qurasyi.
Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir
mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi
penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah
seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal
al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah
orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya
meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Aku
tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya,
paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari
Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim)
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat
ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun
dari tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya. Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang
pemuda kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang
ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan
nikmat.
Menyambut Hidayah Islam
Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum.
Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi
terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan
jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan
nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan
manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran
seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan
sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang
lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit
tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah
pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia
menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala,
maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat
itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan
kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan
agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam
bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan,
baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab
meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega
mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu,
biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan
kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan
meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan
dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak
hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara
fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan
penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa
yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).
Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah
Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak
menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia
mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau
bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang
tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam
fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal
dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai
ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu
berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah
pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami
(intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah
mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai
tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah
dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia
memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi.
Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan
ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang
layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga
kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia
alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat
ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum,
kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari
agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh
dengan keimanannya.
Read more http://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html
Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum.
Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi
terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan
jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr, penggemar pesta dan
nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan
manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran
seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan
sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang
lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit
tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah
pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia
menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.
Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala,
maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat
itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan
kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan
agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam
bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan,
baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab
meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega
mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu,
biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan
kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan
meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan
dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak
hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara
fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan
penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa
yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas
kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya
berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia
dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya
sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).
Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah
Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak
menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia
mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau
bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang
tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam
fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal
dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai
ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu
berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah
pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami
(intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah
mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai
tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah
dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia
memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi.
Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan
ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang
layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga
kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia
alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat
ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum,
kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari
agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh
dengan keimanannya.
Peranan Mush’ab Dalam Islam
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.
Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di
tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam
kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal
Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk
Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik
dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya
yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan
kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak
terburu-buru.
Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin
Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat
menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya
kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika
engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya
engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang
demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu
Islam, lalu membacakannya Alquran.
Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu
dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh
kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang
Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa
yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah,
bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah
dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan
Mush’ab.
Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani
Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi
kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling
bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.
Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan
begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya
bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di
antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya!”
Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.
Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).
Wafatnya
Mush’ab
bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang
Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir
hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa
bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan
musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab
adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan
terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat yang artinya,
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya.
Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga
terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca
ayat yang sama yang artinya:
“Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian
beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah
syuhada di sisi Allah. Setelah itu, beliau berkata kepada jasad
Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun
yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan
sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak
sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi
jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya,
terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya,
terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah
kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”Mush’ab
wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40
tahun.
Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu
yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia
berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik
dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”.
(HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak
sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia
hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau
kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami
tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan
kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan
rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan
menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah
mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan
akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu
menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.
Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang
teladan dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan
mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash
syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.
Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah
No comments:
Post a Comment
Berilah komentar yang bijak dan membangun